Bernard Lawrence Madoff tentu bukan nama asing di dunia
investasi. Pria gaek ini adalah aktor di balik penipuan investasi terbesar
Amerika Serikat, dengan total nilai kerugian korban sekitar US$65 miliar.
Mantan kepala bursa saham NASDAQ ini mulai membangun firma
Wall Street, Benard L. Madoff Investment Securities LLC pada 1960. Baru 48 tahun
kemudian aktivitasnya diketahui publik sebagai penipuan skema Ponzi.
Namun sayangnya, sosok Madoff tidak hanya hidup di AS. Di
Indonesia, regulator pasar modal dan berjangka mensinyalir skema Ponzi juga
telah lama berusaha berbiak di Indonesia.
Modusnya, dengan menggunakan valuta asing, indeks saham, dan
emas Loco London yang diperdagangkan di luar bursa sebagai topeng. Keuntungan
berlipat yang bisa didapat dari perdagangan forex menjadi cerita sang penipu
merayu korban.
Kepala Biro Hukum Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi
(Bappebti) Alfons Samosir mengakui investasi berkedok forex bertebaran di Internet.
Di dunia maya ada ratusan bisnis bodong via online, tetapi
cirinya selalu sama; tak ada alamat jelas, tanpa legalitas, registrasi cepat,
dan menjanjikan keuntungan besar dalam waktu sesaat, misalnya 2%-10% per hari.
Dalam dunia investasi, memang ada program investasi berlaba
tinggi (highyield investment program/ HYIP). Skema ini sering mengiklankan laba
di atas 100% per tahun. Sayangnya, HYIP ini sering kali tak lebih dari skema
Ponzi.
Skema ponzi ini menipu nasabah dengan kedok investasi.
Mereka menjanjikan pengembalian tinggi, dengan membayar investor sebelumnya
dari uang yang diinvestasikan oleh investor baru.
Penyelenggara umumnya membuat situs yang menawarkan ‘program
investasi’ dengan keuntungan tinggi, dibagi harian, mingguan, atau bulanan.
Banyak yang mengklaim keuntungan itu didapat dari transaksi resmi seperti forex
atau komoditas.
“Trading mata uang memang bisa menghasilkan keuntungan tinggi,
tapi sulit konsisten,” kata CEO Vibiz Consulting Alfred Pakasi. Dia menyarankan
masyarakat mewaspadai tawaran yang terlalu bagus untuk jadi kenyataan.
Bappebpti mengerti betul fenomena itu, tetapi tidak bisa
membasmi situs-situs itu secara sepihak. Untuk itu, lembaga ini akan bekerja
sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Tergiur keuntungan
Rencana tersebut harus segera diwujudkan, karena situs-situs
demikian sudah banyak memakan korban, seperti dialami peserta investasi
bertajuk “Investasi Amanah 1” yang digawangi trader asal Bandung, Moch Soleh
Suaidi.
Tergiur keuntungan 200% sebulan, seorang wiraswastawan,
sebut saja X, berutang ratusan juta untuk ikut investasi ini. Setelah beberapa
bulan, pembagian keuntungan yang dijanjikan tak kunjung datang. Ketika X
menagih, pemiliknya kabur entah di mana.
Saya menemui X dalam sebuah forum peserta investasi. Saat
itu, dia hanya bisa berkeluh-kesah tentang 30 ‘investasi bodong’ yang
diikutinya dan berujung pada kerugian. Di forum itu, kerugian diklaim mencapai
triliunan dari ribuan anggotanya.
Kasus paling fenomenal, tentu saja, adalah penyanyi dangdut
Annisa Bahar yang tahun lalu tertipu miliaran rupiah oleh CTG Investment. Web
perwakilannya http://ctginvestment-indonesia.com kini kosong, hanya berisi
pernyataan sanggahan.
“Kami dari Team CTG-InvestmentIndonesia.com cuma media untuk
memberikan informasi, juga merasakan kerugian. Jadi kami merasa tidak
sepantasnya menerima komplain dari Anda,” tulis mereka.
Pernyataan itu terdengar lucu, karena UU No.10/1998 tentang
Per bankan jelas menyebutkan setiap pihak yang menghimpun dana masyarakat
berbentuk simpanan mesti mengantongi izin sebagai bank dari BI.
UU No.8/1995 tentang Pasar Modal juga mengharuskan adanya
izin usaha manajer investasi dari otoritas pasar modal untuk aktivitas serupa.
Ini yang tak dimiliki pengelola situs itu ketika ‘menginformasikan’
investasinya.
Alfred menilai masyarakat cenderung ingin jalan pintas
menjadi kaya, hanya sekadar titip dana dan tidak mau bekerja atau mempelajari
investasinya. Inilah faktor yang membuat bisnis tipu-tipu demikian terus eksis.
0 Komentar