Ticker

6/recent/ticker-posts

Bangku ini untuk pacar saya, ibu silakan berdiri!

Ah, jakarta…. kata orang jaman kuliah dulu, adalah kota yang menekankan hidup untuk egoisme pribadi. Saya hampir percaya dan meyakininya. Cerita-cerita tak enak tentang Jakarta saya dapat dari teman sepenangungan di Code. Katanya, Jakarta itu begini dan begitu … pokoknya serba nagatip.
Sampai akhirnya, saya pun ingin menengok ketidaknyamanan itu. Mungkin, kalau saya alami sendiri, segala sesuatunya akan terasa berbeda. Sekalian, ini juga tuntutan peran.

Beberapa bulan di Jakarta, belum terlalu kentara apa yang dimaksud dengan kehidupan jakarta. Saya malah bertemu saudara-saudara yang sudah lebih lama berpartisipasi dalam upaya memadatkan jakarta. Di jogja, saya menjalin persaudaraan dengan orang-orang tak berkait darah dengan saya. Artinya, saya sudah begitu nyaman di sana. Ketika harus meninggalkannya, saya bersumpah untuk kembali. Kembali kepada saudara-saudara saya, adik-adik saya.

Setelah sekian bulan di ibukota, saya mulai merasakan kehidupannya. Banyak yang saya sukai, yang mungkin tidak Anda sukai. Saya kadang menikmati macet sebagai saat yang paling tepat untuk melamun dan berpikir, mengawang-awang tidak tentu. Saya suka melihat perempuan-perempuan berjajar di sekitaran jatinegara, lalu saya ceritakan sebagai lelucon ketika sampai di rumah. Saya kadang menyusuri pasar-pasar lecek, becek, dan riuh manusia yang keringatnya jadi sangat semerbak. Hanya untuk melihat-lihat manusia. Bagi saya, manusia itu benda amatan yang menarik.
Hampir tiap hari saya naik bis dan angkot. Senin-Jumat rute ke tempat kerja. Sabtu-Minggu kluyuran tak menentu (Kebanyakan bis, menurut saya, jauh lebih pantas dijual kiloan daripada diisi bensin.) Saya maklum dengan setiap perilaku. Termasuk soal tempat duduk di bis kota. Laki-laki duduk dan ibu-ibu berdiri rasanya jadi biasa. Orang berebut naik bis dan berdesak-desakan, tanpa peduli berapa banyak copet yang ambil kesempatan, hanya demi sebuah bangku di bis. Mungkin, karena jalanan jakarta sering macet, sehingga kalau tak duduk, kaki akan tersiksa menahan berat badan.
Suatu hari, saya berpikir bahwa cinta itu tak adil ya. Loh, kenapa? Karena, untuk sebuah kursi, kadang seorang laki-laki lebih mengutamakan pacarnya yang masih muda dan sehat sentosa dibanding seorang ibu tua. Atau, dia tak rela berdiri dan memberikan bangkunya pada yang tampak lebih berhak karena di sampingnya duduklah pacar tercinta. Cinta memang tak adil. Apapun persepsi anda, dengan segala filosofi murahan tentang cinta, cinta tetap tak adil di mata saya. Mungkin, itu cinta yang terlalu murah.

Hehehehe …. cinta macam itu rasanya sanggup membuat seseorang mendirikan sebuah Taj Mahal hanya untuk menguburkan jasad seorang istri. Berapa banyak tukang batu yang berkorban, berapa banyak sang raja memeras rakyatnya, dan orang-orang masih menganggapnya sebagai cinta yang besar. Uhuk-uhuk… Saya sih maklum. Ini hanya dunia, bukan negeri dongeng.

Jakarta juga sebuah kenyataan. Suatu ketika, waktu naik angkot, seorang anak kecil, dekil, dan tak bisa menyanyi membagikan amplop. Senang dong dikasi amplop. Sayang amplop kosong yang sudah digunting jadi dua. Orang tuanya di luar sana, menunggu dan mengawasi. Para penumpang pun sibuk membicarakan si anak yang tak bisa menyanyi. Ketika disuruh menyanyi dengan sedikit keras, dia malah melarikan diri dan tak jadi mengamen. Sang sopir bilang kalau mereka itu biasanya dari luar jakarta. Pendapatannya bisa beberapa juta sebulan. Ada yang nyletuk, “Wah, lebih besar dong dari gaji saya. Mending begitu ya, daripada kita tiap pagi berangkat kerja, pulang malam. Belum lagi dimarahi bos. bla..bla bla..bla.”

Entah, angka jutaan yang disebutkan sang sopir itu benar atau tidak, saya merasa mereka mendapat lebih banyak. Loh, kenapa? Memangnya Anda mau sebulan dapat 5 juta tapi kerjanya ngemis dan ngamen di jalan. Saya yakin tidak. Kalau mau, ya silahkan. Dikiranya, mengamen dan mengemis itu tidak mengorbankan sesuatu. Padahal, harga diri merekalah yang dikorbankan. Harga diri itulah yang mereka “jual” agar bisa membeli tanah di kampung. Manusia layak mendapatkan lebih banyak dengan harga dirinya, bukan sekadar uang dan harta. Apa ada mau bertahan di tempat kerja yang bos-nya selalu memaki-maki Anda, meski Anda digaji sangat besar?

Ah, ini kan hanya Jakarta, bukan negeri dongeng.
Post Navi

Posting Komentar

0 Komentar