Ticker

6/recent/ticker-posts

Sajak Sapardi 'Hujan Bulan Juni' dan Maknanya



Membual.com - Buat kalangan sastrawan atau pecinta satra Indonesia tentunya tidak asing dengan nama Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940 – 19 Juli 2020), maestro puisi modern Tanah Air.

Guru Besar Universitas Indonesia itu sudah melahirkan banyak karya, terutama puisi. Buku pertamnya adalah Duka-Mu Abadi (1969; kumpulan puisi 1967-1968).

Dan satu yang paling ikonik tentunya Hujan Bulan Juni (1994; kumpulan puisi 1959-1994). Buku ini dicetak ulang dan diterbitkan ulang. 

Selain judul buku, Hujan Bulan Juni juga merupakan judul salah satu sajak Sapardi yang dibuat pada 1989. Berikut adalah sajak "Hujan Bulan Juni": 


Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucakan
diserap akar pohon bunga itu

(1989)


Puisi ini telah ditransformasi dalam format musikalisasi yang dilanjutkan dibuat film layar lebar dan akhirnya bertransformasi menjadi novel.

Sajak liris itu begitu terkenalnya hingga judulnya saja telah jadi ungkapan biasa di masyarakat.

Sementara itu soal makna, sajak 'Hujan Bulan Juni' tentunya bebas dimaknai oleh siapapun penikmat puisi. 

Apalagi, buat awam kata-kata dalam puisi seringkali terlalu sulit dicerna dengan sederhana. Beda misalnya kalau kita berkata: Saya mau makan mi ayam. 

Sajak Sapardi ini banyak memakai asosiasi untuk menggambarkan perasaan penulis saat itu. Pilihan untuk memakai 'hujan bulan juni' mungkin bersifat personal dari pengalaman penyair, tetapi juga bisa berasal dari pengalaman komunal kita mayarakat yang hidup di alam tropis.

Kalau secara awam, hujan pada bulan Juni adalah hujan yanng terjadi di awal musim kemarau. Hujan sendiri kerap diasosiasikan dengan suasana perasaan, bisa getir, sendu tetapi bisa juga rasa bahagia karena menjadi penghapus rasa panas. 

Nah, hujan di awal musim kemarau ini beda makna dengan hujan bulan juninya Sapardi. Ia memakai metafora ini, bisa jadi kebetulan ditulis pada bulan Juni saat hujan, dan dipadukan suatu pengalaman batin yang sedang terjadi. 


Apakah 'Hujan Bulan Juni' Puisi Sedih?

Kalau kita telusuri, tidak terlalu tampak ini sebagai sajak sedih, bukan juga sajak kehilangan atau bahkan sajak jatuh cinta. Saya sendiri tidak merasakan itu. 

Hal yang tertangkap adalah sebuah kebijakan selepas orang melewati berbagai bentuk pengalaman, seperti rasa senang yang dipadukan dengan upanya memberi makna. 

Pada kalimat 'dirahasiakannya rintik rindunya' tentu terasa sekali keadaan jatuh cinta yang tidak diutarakan. Diperkuat juga pada kalimat 'dibiarkannya yang tak terucakan'. 

Apakah cinta yang tidak diutarakan adalah sebuah kesedihan? Bagi saya tidak. Itu lebih semacam pergulatan personal yang mungkin hanya bisa dipahami pada masing-masing pengalaman orang. 

Kenapa? Karena kadar cinta dan kemampuan menahan diri, atau ketidakmampuan mengungkapkan perasaan,  berbeda-beda pada tiap orang. Bahkan beda tiap zaman. 

Era di mana tidak ada smartphone, kerinduan terasa lebih syahdu. Kata-kata lebih mahal dalam pangalaman personal. Sementara di era semua orang terkoneksi, efeknya akan berbeda ketika kita rindu atau jatuh cinta. 

Sajak ini juga bisa dimaknai sebagai personifikasi dari fenomena alam yang diberi nyawa oleh penyair. Hujan bulan juni mungkin adalah gambaran pribadi seseorang, bisa jadi Sapardi, bisa jadi temannya, atau orang lain. 

Tentu kalian bebas memaknainya, karena begitulah puisi.

Sementara itu, dari sisi bentuk, puisi lirik Sapardi ini tampak punya akar yang kuat dari bentuk pantun. Walaupun, modifikasinya sudah jauh sekali dari pantun. Namun, melihat polanya, tiga paragraf itu punya metode yang sama.  

Post Navi

Posting Komentar

0 Komentar