Ticker

6/recent/ticker-posts

Mencari keseimbangan baru

(tulisan pernah dimuat bisnis indonesia, ini versi awalnya) 

Harga pangan selalu berkaitan dengan kepul asap dari dapur rakyat. Kalau kepul asap itu tak muncul, para pemimpin patut waspada.

Kenaikan harga pangan disebut-sebut jadi salah satu pemicu unjuk rasa di Tunisia yang melengserkan Presiden Ben Ali dari kursi kekuasaan yang didudukinya dalam 23 tahun itu.

Rakyat yang terbebani berbagai kenaikan harga barang menjadi berang melihat protes Mohammed Bouazizi yang membakar diri tidak terlalu digubris. Sekalipun sang presiden telah membesuk rakyatnya itu sebelum ajal, para demonstran terlanjur melihat kisah satir pedagang sayur ilegal.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menengarai gejolak yang menular ke Mesir, Libya dan beberapa negara Timur Tengah itu disebabkan kenaikan harga pangan yang menekan daya beli masyarakat.

Harga komoditas yang lebih tinggi tertransmisi dalam satu rantai dengan inflasi di kebanyakan negara. Hal itu mengurangi daya beli rakyat miskin dan meningkatkan kekhawatiran tentang stabilitas ekonomi dan kerawanan pangan di beberapa negara berkembang

Dan, tingginya harga pangan global masih akan berlanjut dalam dekade mendatang. Dunia menghadapi tekanan dari ketidakstabilan harga pangan karena pelambatan produktivitas pertanian, sedangkan permintaan terus naik seiring pertambahan penduduk.

Sebuah laporan kolaborasi Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan FAO menyatakan harga pangan akan tetap tinggi dalam dekade berikutnya setelah dalam 10 tahun terakhir produksi pertanian melambat dan permintaan meningkat.

Dalam laporan tahunan bertajuk Agricultural Outlook, sebagaimana dikutip Bloomberg, disebutkan pertumbuhan produksi pertanian global akan turun menjadi rata-rata 1,7% per tahun sampai 2020, dibandingkan dengan 2,6% pada dekade sebelumnya.



Pertumbuhan yang lambat itu diperkirakan terjadi pada sebagian besar tanaman, terutama minyak sayur dan biji-bijian atau serealia. Perlambatan itu akan membuat harga komoditas terus menanjak.

OECD dan FAO mengulang prospek tahun lalu bahwa harga komoditas pertanian dalam arti riil secara umum akan lebih tinggi selama dekade berikutnya dibandingkan dengan 10 tahun terakhir.

Berdasar indeks pangan FAO atas 55 komoditas pertanian, harga makanan telah mencapai rekor pada Februari lalu. Dalam setahun ini harga jagung berjangka telah meningkat 73% di Chicago, gandum naik 48% dan beras naik 27%.

Sisi positifnya, harga komoditas yang lebih tinggi bisa merangsang investasi dalam menaikkan produktivitas dan pasokan yang dibutuhkan untuk memenuhi meningkatnya permintaan bahan pangan.

Laporan itu menyebutkan, dalam jangka pendek, harga komoditas pertanian diperkirakan turun dari level tertinggi dari awal 2011 seiring pasokan meningkat dalam menanggapi kenaikan harga.

Namun, sinyal itu tidak serta merta membuat kapasitas produksi pertanian meningkat. Diperlukan waktu lama untuk memulihkan hasil panen seperti sediakala di tengah tantangan perubahan iklim global. 

Sebagai contoh, harga jagung diperkirakan masih akan menjadi rata-rata 20% lebih tinggi dalam dekade mendatang dibandingkan sebelumnya, sementara harga pakan unggas mungkin 30% lebih tinggi.

Harga jagung di Chicago naik ke rekor baru bulan ini karena permintaan untuk biji-bijian sebagai makanan, pakan ternak dan bahan baku untuk etanol telah melampaui pertumbuhan produksi, dan menguras stok.

Morgan Stanley secara ‘ekstrem’ mengatakan harga jagung dapat melonjak 36%, menembus US$9 per bushel, apabila kondisi pasokan semakin buruk. Dorongan kenaikan harga itu disebabkan kekeringan dan banjir yang mengganjal upaya perbaikan produksi komoditas pertanian. Indeks Pertanian Standard & Poor atas 8 komoditas  menunjukkan kenaikan 60% dalam 12 bulan terakhir.

Karenanya, panen tahun ini berperan sangat penting dalam mencari keseimbangan baru pasokan komoditas pangan. Namun, memulihkan keseimbangan pasar mungkin memakan waktu lama.

"Sampai cadangan dapat dipulihkan kembali, risiko volatilitas harga lebih lanjut tetap tinggi," kata organisasi itu. Spekulasi di pasar berjangka dapat memperkuat pergerakan harga dalam jangka pendek. Tambah pula dengan semakin eratnya hubungan fluktuasi harga energi dengan komoditas pertanian. 

Peningkatan produktivitas

Organisasi pangan yang berbasis di Roma itu menyebutkan populasi dunia diperkirakan naik menjadi 9,2 miliar pada 2050 dari estimasi 6,9 miliar pada 2010. Karena itu diperlukan menaikkan produksi pertanian sebesar 70%.

Upaya itu akan sangat sulit. FAO sendiri mengatakan ada tanda-tanda bahwa biaya produksi meningkat dan pertumbuhan produktivitas melambat seiring harga energi naik, terbatasnya ketersediaan air dan penggunaan lahan. Sementara perluasan areal pertanian sulit dilakukan di tengah gencarnya konversi lahan.

Kondisi yang demikian patut menjadi perhatian pemerintah. Respon riil Indonesia yang adalah pengimpor gandum, jagung, dan kedelai dalam jumlah besar patut ditunggu. Tentu, bukan respon polesan yang diharapkan.

Menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin respon pemerintah selama ini terlalu biasa. “Belum ada usaha spektakuler yang dilakukan pemerintah, seperti inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas pertanian.” 

Taufikul Basari 
Post Navi

Posting Komentar

0 Komentar