Menurut
sebuah riset BBC, lelehnya sebuah coklat di mulut meningkatkan aktivitas otak
dan debar jantung lebih kuat daripada efek ciuman, bahkan empat kali lebih
lama.
Joel
Glenn Brenner, pangarang “Emperors of Chocolate”, menyebutkan bahwa rasa coklat
itu tercipta dari campuran 1.200 macam zat tanpa satu pun yang dominan.
Sehingga, sulit sekali memalsukan rasa coklat.
Selain
memberikan rasa luar biasa di lidah, secara tidak langsung coklat juga dapat
memberikan titel haji bagi masyarakat Sulawesi. Hm, bagaimana bisa tanaman asal
Amazon itu memberikan titel haji?
Sulawesi
merupakan sumber kakao utama Indonesia, menguasai 72% produksi domestik.
Nah, kakao, bahan utama pembuatan
coklat, adalah tanaman rakyat yang mampu mensejahterakan petani hingga mereka
dapat menunaikan haji ke tanah suci. Maka, di Sulawesi biasa dikenal adanya
Haji Kakao.
Haji
Kakao itu menunjukkan tingginya peran kakao dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Menurut Sikstus Gusli, pakar dan peneliti coklat Universitas
Hasanuddin, 94% kakao dihasilkan dari perkebunan kecil milik rakyat.
Animo
masyarakat untuk mengembangkan kakao diakuinya sangat tinggi. Indonesia sebagai
negara ketiga penghasil kakao bisa saja menyelip Pantai Gading, produsen utama,
apabila ada keseriusan dalam pengembangan. “Areal perkebunan di Indonesia masih
bisa ditambah,” katanya.
Optimisme
itu seiring pula dengan pola produksi kakao dunia. Indonesia terus menambah
kapasitas produksi kakao antara 2007 hingga 2010. Di saat yang sama, Pantai
Gading dan Ghana, dua produsen utama, alami penurunan (lihat grafik).
Akan
tetapi, tidak berarti semua petani menikmati manisnya harga kakao. Ketidakmampuan
petani mengelola penjualan biji kakao membuat mereka kurang mendapat keuntungan
lebih yang seharusnya bisa diperoleh dari tingginya harga global.
Kalau
rasa coklat tak bisa dipalsukan, tidak dengan harga kakao milik petani itu. Harga
kakao di tingkat petani rupanya dapat menjadi sumber keuntungan yang tidak “fair” bagi sejumlah kolektor, pengumpul
kakao petani.
Ada
berbagai cara seorang kolektor mendapat kakao petani dengan harga lebih murah.
Menurut penuturan Sikstus, kolektor biasa memberikan potongan harga pada kakao
petani. “Dari kebijakan bea keluar saja pedagang bisa memperoleh keuntungan 5%
sebelum kakao diekspor,” katanya.
Keuntungan
5% tersebut dinikmati kolektor dengan cara membebankan BK pada petani. Caranya,
kolektor membebankan pajak ekspor di level tertinggi sebagai antisipasi
kenaikan harga global.
Pajak
ekspor progresif yang diterapkan pemerintah adalah antara 0% hingga 15%,
bergantung pada harga internasional. “Pedangang kan mesti mikir, bagaimana seandainya harga tinggi dan dikanakan BK
15% saat pengapalan? Maka, mereka akan mengenakan potongan pajak ekspor yang
tertinggi, alasannya untuk antisipasi,” cerita Sikstus.
Para
pengumpul yang berkolaborasi dengan eksportir memiliki gudang penyimpanan yang
digunakan menahan kakao. Mereka menunggu harga yang sedikit lebih rendah agar
BK yang diterapkan hanya 10% saja.
Selain itu,
kolektor yang sudah mengenal petani akan memberikan pinjaman pupuk. Sekalipun
harga pupuk yang diberikan lebih tinggi daripada harga normal, petani tidak
bisa banyak menolak karena keterbatasan modal. “Nah, saat panen, para kolektor
akan memberikan potongan harga biji kakao karena merasa berjasa membantu petani
dengan meminjami pupuk,” tutur Sikstus.
Usaha
apresiasi harga dengan fermentasi kakao juga sering gagal. Sebabnya, petani kakao
kurang terkoordinasi padahal mereka pemain kecil. Untuk melakukan fermentasi,
bisa menambah harga kakao hingga Rp2.500 per kg, diperlukan biji-bijian dalam
jumlah besar.
Indonesia
juga tak bisa menikmati tingginya harga kakao saat Pantai Gading dilanda
kekacauan politik tahun ini, yang sebabkan pelarangan ekspor dari negara
tersebut. Berdasar data Kementrian perdagangan, nilai ekspor kakao Indonesia
selama kuartal pertama tahun ini turun 17,20% menjadi US$332,6 juta dari
US$401,6 juta periode yang sama tahun sebelumnya.
Oleh M.
Taufikul Basari
Bisnis Indonesia
0 Komentar