Bisnis kebencian itu
memang ada. Apalagi di tengah era digital yang semakin memudahkan orang
menyebarkan informasi seperti sekarang ini.
Terbaru adalah
penangkapan seseorang bernama Rohmad Koerniawan (38) di Tulungangung. Ia
adalaha pemilik dan pengelola akun media sosial penebar ujaran kebencian yang
dipesan sejumlah pihak. Rohmad diketahui menjadi pengelola dua akun Facebook
sekaligus, atas nama Puji Ati dan Imam Insani.
Lewat akun medsosnya
itu, Rohmad menuding sejumlah pejabat Tulungagung telah bermain kotor terkait
dengan tugasnya. Dari pengakuannya, Rohmad mengunggah postingan bernada fitnah
dan ujaran kebencian karena pesanan sejumlah orang, termasuk sejumlah oknum
wartawan dan pejabat. Ia pun mendapatkan imbalan materi.
Kasus Rohmad hanyalah
fenomena gunung es, lantaran saat ini masih sangat banyak penyebar kebencian di
masyarakat. Tak hanya media sosial yang dapat diakses secara publik seperti
Facebook, Instagram, dan Twitter, mereka juga beroperasi lewat media sosial
yang semi-tertutup seperti grup Whatsapp atau Telegram.
Menurut saya, kebencian
adalah bahan bakar utama konflik, selain ketidakadilan. Jika ketidakadilan
biasanya timbul dalam konflik vertikal, antara pemegang kekuasaan dengan mereka
yang tertindas, maka dalam kebencian konflik yang timbul lebih berkarakter
horizontal.
Artinya, jika kita
tengok karakternya, kebencian bisa lebih berbahaya dari sekadar ketidakadilan.
Mengapa? Karena, menurut saya, ketidakadilan sangat jelas karakternya, siapa
yang baik dan jahat, sehingga tidak terlalu rumit, meski tetap saja sesuatu
yang sangat sulit diatasi mengingat karakter pemegang kuasa.
Sementara itu, konflik
karena kebencian terkadang samar, tidak jelas siapa yang jahat dan benar. Bisa
jadi kedua-duanya pada posisi benar, tetapi karena kebencian maka pihak lawan
jadi sama-sama salah. Kebencian mendistorsi penilaian obyektif, menjadi suatu
pengadilan tanpa rasionalitas.
Konflik karena
kebencian juga cenderung menghabisis siapa saja, dan yang lebih sering kalangan
mayoritas, atau mereka yang ada di level bawah, yaitu rakyat dalam pengertian
apapun. Pasalnya, dalam kebencian ada kebodohan massa yang tidak bisa
ditanggulangi hanya dengan seminar atau kursus perdamaian.
Kebencian juga terawat
dengan baik dalam tradisi dan kultur, karena telah jadi alat bagi sebagian
orang untuk tetap berada di atas. Contoh saja dalam kasus kebencian etnis di
Indonesia, yang pada awalnya adalah alat penguasa kolonial untuk mengadu domba.
Lantara penguasa tak kuasa atau tak mau terus-terusan mendanai kerugian untuk
menekan kalangan Tionghoa, maka mereka membawa konflik itu ke level rakyat.
Dengan begitu, kekuatan rakyat untuk menekan penguasa jadi berkurang lantaran
tenaganya dihabiskan untuk konflik horizontal.
Hari-hari ini, atau
sejatinya tahun-tahun belakangan, kebencian kembali jadi komoditas yang semakin
menarik karena jadi alat sejumlah pihak untuk meraih kekuasaan. Adu domba
adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi politik Tanah Air
belakangan, dan bahan bakarnya adalah kebencian, kebencian yang dibuat-buat.
Konflik itu seolah ada
sebagai perang antara kebenaran dan kejahatan, antara partai tuhan dan partai
setan, padahal apa yang terjadi sebenarnya adalah motif mencari kekuasaan
dengan mengorbankan rakyat. Padahal, dalam konteks politik demokrasi, para
partai politik maupun kandidat legislator dan presiden-wakil presiden
jelas-jelas orang yang dalam misinya untuk mencari cara terbaik memperbaiki
kondisi bangsa.
Misi tersebut ter-distorsi hanya sekadar upaya untuk mencapai kekuasaan lantaran imbal
hasilnya sangat besar. Maka terlihat dengan jelas bahwa para politikus
berinvestasi habis-habisan untuk mendapatkan suara (suatu komoditas dalam
demokrasi prosedural) rakyat, tetapi sesungguhnya tidak pernah melihat bahwa
tujuannya untuk rakyat. Maka dengan mudah mereka menggunakan narasi kebencian
untuk menyerang lawan dan mendapatkan dukungan.
Narasi kebencian juga
semakin laku di tengah politik narsis, di mana politikus memanfaatkan segala
sesuatu untuk terus menjadi perhatian dan mencapai kekuasaan. Tanpa kekuasaan,
apa yang bisa mereka kerjakan? Mungkin tidak ada yang dikerjakan. Ini
menandakan bahwa kerja apapun yang pada akhirnya mereka lakukan bukan untuk
rakyat, tapi dirinya sendiri.
Politik dengan
memanfaatkan narasi kebencian ini berbahaya jika diteruskan, karena cenderung
menghasilkan konflik horizontal, membudayakan cara pikir picik dan stereotip
negatif yang cenderung direproduksi dari zaman-ke-zaman.
0 Komentar