Reuni 212—lepas dari makna nama acara yang tampaknya sebagai bentuk
glorifikasi diri dan upaya pencitraan sebagai aksi intelektual—sangat sukses.
Kita bisa bicara jumlah, atau konten yang dibawa kelompok masyarakat yang
mengatasnamakan golongan Islam Indonesia ini.
Gerakan ini sukses sebagai gerakan politik. Ya, jelas ini gerakan
politik. Jika ada yang bilang ini bukan gerakan politik, bisa dipastikan itu
disampaikan politisi atau orang yang memang terlibat di dalamnya dalam tengah
dalam proses branding gerakan 212.
Jika bukan gerakan politik, bagi saya, malah aksi ini bisa disebut
gagal. Karena memang tidak ada artikulasi lain dalam menerjemahkannya secara
lebih gamblang selain sebagai gerakan politik kalangan Islam perkotaan di
Indonesia. Penggeraknya, atau pendukung utama, atau inisiatornya jelas
orang-orang yang terafiliasi dengan partai politik, tanpa itu saya kira sulit
bisa sampai pada tahap sesukses saat ini.
PKS, PAN, dan mantan HTI jelas di dalamnya, mengingat representasi
mereka sebagai kelompok gerakan Islam perkotaan yang muncul pasca-Orde Baru. Di
sinilah aksi 212 atau reuninya sebagai sebuah gerakan politik kalangan Islam
perkotaan berhasil. Baru kemudian kita menghitung Partai Gerindra atau unsur
partai lain yang ikut nebeng. Sementara itu FPI dan kelompok-kelompok kecil
lain yang cukup militan menjadi bagian kecil yang seolah besar.
Kenapa bisa begitu? Menurut analisis saya, kelompok inilah yang akan
jadi tameng jika aksi berjalan buruk, mereka yang akan dan siap di-bully.
Artinya, memang ada kelompok kecil yang militansinya tinggi dan terorganisir
dengan baik, yang berkorban untuk menjadi peluru utama. Pengorbanan FPI dalam
gerakan ini jelas paling luar biasa karena mereka seolah-olah nir-politik.
Gelombang politik itu ada pada partai-partai dan simpatisan yang secara
teguh mendukung gerakan-gerakan unjuk gigi menjelang Pilpres 2019. Penting bagi
koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga Uno untuk bisa menunjukkan seberapa kuat
dukungan kelompok Islam perkotaan dalam konstestasi politik di Tanah Air.
Pasalnya, mereka terlalu sering kalah dalam berbagai survei elektoral, yang
jelas tidak bisa dikontrolnya. Tapi saya masih percaya survei elektoral sebagai
cara untuk mengukur dan mengevaluasi popularitas.
Reuni 212 kali ini jelas hasilnya, akan mengerek popularitas
Prabowo-Sandi dan gerbong pendukungnya. Tak terbantahkan bahwa mereka berhasil
mengonsolidasi diri, meningkatkan kepercayaan diri, terutama setelah
terbongkarnya kasus kebohongan Ratna Sarumpaet ke hadapan publik. Kasus hoax
oleh Ratna cukup menggerus elektabilitas partai-partai pengusung Prabowo-Sandi,
dan Reuni 212 adalah cara untuk mentralisir pengaruh negatif itu. Toh,
masyarakat cepat lupa.
Di sisi lain, konsolidasi yang sangat sukses lewat Reuni 212 ini adalah
bentuk kampanye terselubung yang tidak bakal melanggar peraturan kampanye.
Bagus, kan? Ucapan Hidayat Nur wahid bahwa gerakan ini bebas dari unsur
politik, justru mempertegasnya. Ya, dia sendiri orang politik, dan kita bisa
mhfum lah setiap yang keluar dari mulutnya bisa saja disebut politis. Biasa
saja, tidak perlu dipersoalkan. Toh, sebagai politisi, seharusnya mereka bangga
bahwa suatu gerakan politik berdampak sosial cukup besar. Itu tujuan politik. Kecuali,
tujuannya hanya untuk cari kekuasaan… maka yang perlu dilakukan adalah
menyangkalnya sebagai gerakan politik, karena tujuannya lain.
Politik itu mulia, karena merupakan cara untuk memperjuangkan nasib
suatu kelompok dalam proses sosial manusia. Tak harus kelompok, memperjuangkan
kepentingan diri sendiri pun semestinya bisa sangat politis. Wajar. Dan di sini
kita bicara kata politik dalam konotasi yang barangkali netral… netral dalam
pengertian bahwa politik bisa baik, bisa jahat, bisa abu-abu.
Reuni 212 dan gerakan-gerakan sejenis sesungguhnya adalah upaya untuk
mengkaderisasi massa, membangun jejeraing, menguatkan tujuan politik bersama,
dan sering pula mampu membuat kesepakatan atau tujuan bersama. Gerakan ini
berhasil dalam banyak segi, termasuk dalam hal kaderisasi. Salah satu buktinya
adalah jumlah yang semakin banyak. Padahal, logikanya, peserta aksi 212 atau
aksi 4..berapa itu, sudah berkurang pendukungnya karena tujuannya sudah
tercapai; pemenjaraan Ahok.
Maka, banyak alumni 212 yang mungkin sudah mundur atau embubarkan diri
mengingat tujuan politiknya sudah tuntas. Bagusnya adalah, para inisiator yang
terafiliasi dengan partai, atau minimal simpatisan partai, cukup berhasil untuk
terus menyambung tali persaudaraan ideologis dengan terus menggemakan
tujuan-tujuan baru yang masih relevan dengan tujuan politik mereka. Mulai dari
Jokowi sebagai musuh bersama, hingga dukungan ke Prabowo. Narasi-narasi itu
harus tetap dibangun agar mereka tetap bersatu. Tanpa tujuan seperti itu, saya
khawatir mereka kemudian akan melihat ke dalam dirinya sendiri dan sadar soal
hak-hak atau kue yang harusnya mereka dapatkan dalam gerakan ini, yaitu
kekuasaan atau peran. Biasanya ributnya nanti, kalau Prabowo, misalnya sudah
jadi presiden. Karena, para pendukung gerakan 212 akan melihat jasa-jasa
dirinya, sementara di sisi lain, yang menikmati panennya adalah politisi lewat
pembagian kekuasaan. Sangat sulit membagi kekuasaan ke semua unsur, apalagi
secara adil.
Regenerasi 212 sebagai gerakan politik juga tampak dari semangatnya
untuk terus membawa anak-anak muda, juga anak-anak mereka, ke dalam aksi. Doktrinasi
lewat gawai dan keluarga paling efektif, dan gerakan kumpul bersama itu
membuktikan betapa suksesnya cara-cara konsolidasi semacam ini. Ya, di masa
lalu mungki PKI yang melakukan, tapi tidak cukup relevan untuk sekadar
menyamakan atau mencari benang merahnya. Meramu grakan politik massa dengan
gerakan politik kader adalah kunci sukses untuk mendapatkan tempat dalam
politik prosedural di Indonesia.
Hal lainnya adalah keberhasilan isu agama sebagai pemersatu dan kekuatan
dalam kehidupan politik. Saya masih melihat bahwa isu agama sebenarnya netral
saja dipakai, asal bukan dalam konteks untuk diskriminasi. Walaupun, tetap saja
pada kenyataanya, jika Anda orang luar dan kemudian merasakan nuansa wacana di
dalam gerakan ini, maka nuansa merendahkan pihak lain karena faktor agama itu
tampak sebagai hal yang biasa saja. Ini berbahaya jika eskalasinya meningkat
pada kekerasan dan konflik. Karena itu perlu dijaga betul agar hal-hal seperti
itu tidak malah jadi bumerang dan menghancurkan mereka.
Rasa percaya diri yang telah dibangun lewat isu agama ini akan meningkatkan
ego, memang. Ini hal yang sudah bisa dilihat, misalnya mereka mendikotomi pihak
hanya sebagai kami atau mereka, cebong atau kampret. Pikiran sempit ini sudah
lama tertanam dan tidak mudah dinetralisir, lebih mudah untuk memperbesar
apinya, malah. Pasalnya, kelompok-kelompok yang tampak mudah terorganisir ini
sejatinya juga mudah terhasutoleh kabar bohong. Kita harus ingat bahwa
orang-orang kritis akan sangat sulit dimasukkan dalam kerumunan, ke pihak mana
pun tentunya.
Orang-orang yang mudah diajak berkumpul dengan alasan yang dibuat-buat,
akan dengan mudah juga dihasut dalam konteks kekacauan. Ini bisa berbahaya, dan
sudah sering terjadi di Indonesia. Itulah kenapa seolah-olah pemerintah phobia
dengan gerakan massa yang bisa mengumpulkan ribuan hingga jutaan orang. Orang
yang bisa dengan mudah dikumpulkan, tampaknya juga mudah kena pengarus dari
hasutan, terutama jika dilakukan oleh pemimpin-pemimpinnya di dalam kelompok.
Jangan harap mereka terhasut oleh provokasi penyusup, karena mereka juga
belajar dari kesalahan-kesalahan di masa lalu. Justru yang berbahaya adalah
provokasi dari orang-orang yang mereka percayai dalam kelompok itu, dan mereka
mengenalinya. Artinya, atas hasutan pihak yang tak dikenal, kelompok ini solid melawan,
tapi oleh hasutan dari orang dalam, maka bisa jadi amuk yang berbahaya.
Ada banyak hal lagi yang bisa kita analisis dari gerakan politik 212
ini, namun waktu saya untuk menulis dan apalagi menatanya sangat terbatas. Kita belum bicara soal posisi Anies Baswedan dalam gerakan ini, yang sebenarnya paling diuntungkan, bukan Prabowo. Anies lah mungkin orang yang akan memanen gerakan ini pada 2024, jika gerakan ini bisa tetap utuh sampai di sana, dan tidak ada banyak friksi secara internal, atau kejadian luar biasa lainnya.
0 Komentar